Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak

Apa itu anak berkebutuhan khusus?.

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lainSelama ini pendidikan dan tata kelolanya cenderung melihat, memandang dan mengimplementasikan kebijakan dengan cara pandang yang seragam. Ketika regulasi untuk pendidikan umum maka semuanya diseragamkan dan demikian pula untuk anak berkebutuhan khusus, semua dilakukan dengan tanpa memandang arti yang jelas dari ‘kebutuhan khusus’ tersebut, karena kata ‘khusus’ cenderung diartikan juga sebagai ‘seragam yang khusus’ tanpa memperhatikan bahwa kebutuhan khusus membawa implikasi bahwa kebutuhan seseorang dengan orang lainnya itu berbeda, dan tidak bisa diseragamkan.

Apa yang diterima oleh anak berkebutuhan khusus?. Anak berkebutuhan khusus hingga saat ini mendapatkan perlakuan yang sama dan seragam. Perlakuan khusus kepada anak berkebutuhan khusus baik di sekolah, di masyarakat, di desa, maupun hingga di rumahnya sendiri adalah sama yaitu ‘diskriminasi’. Bukannya perlakuan khusus untuk membuatnya mandiri agar tidak memberatkan lingkungan, menjadi berbeda karena kekurangan, namun kenyataannya adalah mereka tidak menerima perlakuan sama sekali yang membuatnya bisa tumbuh menjadi anak, sebagaimana manusia lainnya.

Tentang Pendidikan Inklusif

  1. Pendidikan Inklusif adalah sistem pelayanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan terlayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon – Shevin dalam 0 Neil 1994 ).
  2. Sekolah inklusif adalah sekolah yang mendidik semua murid di kelas yang sama, tak ada pembedaan. Sekolah mampu menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, dan menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat diberikan oleh para guru, sehingga anak-anak berhasil (Stainback, 1980)

Tujuan Pendidikan Inklusif

Secara umum pendidikan inklusif diselenggarakan dengan tujuan:

a. memastikan bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau,        efektif, relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya;

b. memastikan semua pihak untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar         seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran Jadi, Inklusif dalam pendidikan                 merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahannya dari     budaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat.

Sementara itu tujuan pendidikan inklusif sebagaimana tercantum dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Indonesia, Kemdiknas Tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1) memberikan kesempatan  kepada semua  anak (termasuk anak berkebutuhan khusus)      untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya;

2)  membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar;

3) membantu   meningkatkan   mutu   pendidikan   dasar   dan menengah dengan                 menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah;

4)    menciptakan     model     pendidikan     yang     menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran;

5)    memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan  yang  bermutu”.  Undang-Undang  Nomor  23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi “anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Prinsip Pendidikan Inklusif

1)  Terbuka, adil, tanpa diskriminasi;

2)  Peka terhadap setiap perbedaan;

3)  Relevan dan akomodatif terhadap cara belajar;

4)   Berpusat  pada  kebutuhan  dan  keunikan  setiap  individu peserta didik;

5)  Inovatif dan fleksibel;

6)  Kerja sama dan saling mengupayakan bantuan;

7)   Kecakapan  hidup  yang  mengefektifkan  potensi  individu peserta didik dengan potensi lingkungan;

e. Landasan Pendidikan Inklusif

1)  Landasan Filosofis

Landasan filosofis dalam penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman: 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Meskipun adanya keberagaman, namum kesamaan misi yang diemban di bumi ini adalah membangun kebersamaan dan interaksi yang dilandasi saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan, pastilah dapat ditemukan keunggulan- keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat  pasti  terdapat  juga kecacatan  tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna.

Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan.   Sistem   pendidikan   harus   memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi, seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

2)  Landasan Yuridis

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO: 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948, dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB Tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogianya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif     atau     berupa     sekolah     khusus.     Teknis penyelenggaraannya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.

3)  Landasan Pedagogis

Dalam  Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, semua peserta didik termasuk yang berkebutuhan khusus, dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal anak berkubutuhan khusus diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4)  Landasan Empiris

Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara- negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick ;1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan analisis lanjut atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

2. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

  1. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Inklusif merupakan suatu proses yang berkembang dari waktu ke waktu dan keberhasilan Inklusif tergantung pada persiapan dan penempatan dasar-dasar Inklusif itu sendiri. Apabila Inklusif ingin berhasil tentunya sekolah harus menggunakan pendekatan yang berorientasi  kepada  kebutuhan  siswa.  Pada  dasarnya, Inklusif sosial dalam konteks pendidikan adalah menghargai dan merangkul setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama, bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan kondisi beda lainnya (UNESCO: 2001; 17). Sekolah merupakan tempat bagi  semua  siswa  merupakan  anggota  yang  utuh,  memiliki perasaan terhubungkan dengan teman temannya, memiliki akses terhadap   kurikulum   pendidikan   umum   yang   sesuai   dan bermakna, serta memperoleh dukungan untuk keberhasilannya.

Berikut   adalah   prinsip-prinsip   penyelenggaraan   pendidikan Inklusif:

1)  Pendidikan yang ramah

Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah terhadap peserta didik dan pendidik, yaitu anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan  anak  sebagai  pusat  pembelajaran, mendorong partisipasi anak dalam belajar, dan guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik.

2)  Mengakomodasi kebutuhan

Mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, diharapkan sekolah penyelenggara harus dapat mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik dengan cara sebagai berikut:a) memerhatikan kondisi peserta didik, yaitu kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda serta gaya dan tingkat belajar yang berbeda;b) menggunakan kurikulum yang fleksibel;c) menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi dan pengorganisasian kelas yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan;d) memanfaatkan  lingkungan   sekitar   sebagai   sumber belajar;e) Melakukan kerja  sama  dengan  berbagai  pihak  yang terka

3)  Mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin.

Sekolah  Inklusif  berupaya  memberikan  pelayanan pendidikan seoptimal mungkin, agar peserta didik yang memiliki hambatan dapat mengatasi masalahnya dan dapat mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Berikut kumpulan lengkap beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak  yang bisa didownload: :

1. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak.Pdf

2. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak.word 

3. Power Point Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak

Tinggalkan komentar